Penguatan Kewenangan Kejaksaan dalam RUU KUHAP: Antara Efektivitas dan Ancaman terhadap Hak Asasi Manusia

    Penguatan Kewenangan Kejaksaan dalam RUU KUHAP: Antara Efektivitas dan Ancaman terhadap Hak Asasi Manusia

    Sebagai aktivis yang telah berkecimpung selama bertahun-tahun dalam pemantauan dan advokasi hak asasi manusia di Indonesia, saya melihat adanya permasalahan serius dalam wacana penguatan kewenangan kejaksaan melalui revisi RUU KUHAP. Pengalaman saya di YLBHI pun telah memberikan perspektif mendalam tentang bagaimana kekuasaan yang terlalu besar pada satu institusi penegak hukum dapat berujung pada pelanggaran hak asasi manusia.

    *Paradoks Reformasi Hukum*

    Selama lebih dari dua dekade pasca reformasi, kita telah berjuang keras untuk membangun sistem peradilan yang lebih demokratis dan menghormati HAM. Namun, rencana penguatan asas dominus litis dalam revisi RUU KUHAP justru menunjukkan adanya kecenderungan untuk kembali ke model sentralistik yang berpotensi menimbulkan abuse of power.

    Saya mencatat beberapa kekhawatiran mendasar:

    Pertama, dari pengalaman mendampingi korban pelanggaran HAM, saya melihat bahwa konsentrasi kekuasaan yang berlebihan pada satu institusi justru membuka peluang terjadinya praktik-praktik kesewenang-wenangan. Kasus-kasus yang pernah saya tangani sebagai aktivis HAM menunjukkan bahwa tanpa sistem checks and balances yang kuat, kewenangan besar seringkali berujung pada penyalahgunaan.

    Kedua, penerapan asas dominus litis yang terlalu kuat akan memberikan kejaksaan kekuasaan yang nyaris tanpa batas dalam mengendalikan perkara. Ini berbahaya mengingat track record kejaksaan yang belum sepenuhnya bersih dari praktik-praktik koruptif dan kepentingan politik.

    *Dampak terhadap Penegakan HAM*

    Berdasarkan pengalaman saya memantau berbagai kasus pelanggaran HAM, penguatan kewenangan kejaksaan berpotensi menimbulkan dampak serius:

    1. Ancaman terhadap Hak Tersangka

    Dominasi kejaksaan dapat mengakibatkan tersangka kehilangan hak-hak fundamentalnya dalam proses peradilan. Saya telah menyaksikan bagaimana ketidakseimbangan kekuatan antara aparatur negara dan tersangka seringkali berujung pada pelanggaran due process of law.

    2. Pelemahan Mekanisme Pengawasan

    Sistem pengawasan yang ada saat ini belum cukup kuat untuk mengimbangi besarnya kewenangan yang akan dimiliki kejaksaan. Pengalaman KONTRAS menunjukkan bahwa lembaga-lembaga pengawas seperti Komisi Kejaksaan seringkali tidak memiliki “gigi” dalam menghadapi institusi kejaksaan.

    3. Politisasi Penegakan Hukum

    Dengan kewenangan yang terlalu besar, kejaksaan akan lebih rentan terhadap intervensi politik. Saya telah menyaksikan bagaimana kasus-kasus sensitif politik seringkali ditangani secara tidak profesional ketika ada tekanan dari kekuatan politik tertentu.

    *Solusi yang Saya Tawarkan*

    Berdasarkan pengalaman selama menjadi aktivis HAM dan Mantan Direktur Advokasi YLBHI, saya mengusulkan beberapa alternatif:

    1. Penguatan Bertahap

    Alih-alih memberikan kewenangan besar sekaligus, sebaiknya dilakukan penguatan bertahap disertai evaluasi berkala terhadap dampaknya pada penegakan HAM.

    2. Pembenahan Internal

    Sebelum memperkuat kewenangan, kejaksaan perlu melakukan pembenahan internal secara menyeluruh, terutama dalam hal integritas dan profesionalisme.

    3. Pengawasan Independen

    Perlu dibentuk mekanisme pengawasan independen yang kuat, dengan melibatkan elemen masyarakat sipil dalam pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan kejaksaan.

    *Kesimpulan*

    Sebagai pegiat dan pemerhati HAM, saya menegaskan bahwa reformasi sistem peradilan pidana memang diperlukan, tetapi bukan dengan cara memberikan kekuasaan berlebihan pada satu institusi. Pengalaman saya menangani berbagai kasus pelanggaran HAM telah menunjukkan bahwa checks and balances adalah kunci utama dalam membangun sistem peradilan yang adil dan demokratis.

    Revisi RUU KUHAP seharusnya lebih diarahkan pada penguatan sistem pengawasan dan perlindungan hak-hak tersangka, bukan pada pemusatan kekuasaan yang berpotensi menciderai prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis. Mari kita belajar dari sejarah bahwa kekuasaan yang terlalu besar tanpa pengawasan yang memadai hanya akan mengulangi kesalahan masa lalu.

    Ciamis

    Ciamis

    Artikel Sebelumnya

    Berikan Rasa Nyaman Warga Ciamis, Polres...

    Artikel Berikutnya

    PBH PERHAKHI Kritik Penerapan Dominus Litis...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    PERS.CO.ID: Jaringan Media Jurnalis Independen
    Hendri Kampai: Jangan Mengaku Jurnalis Jika Tata Bahasa Anda Masih Berantakan
    Nagari TV, TVnya Nagari!
    Satgas Ops Damai Cartenz 2025 Amankan Barang Bukti Pakaian Milik Nikson Matuan
    Ops Keselamatan Lodaya 2025, Satlantas Polres Ciamis Rampcheck Bus Pariwisata di Ciamis

    Ikuti Kami